Sidang Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi: Bawaslu Membantu Memperkuat Keadilan Substantif

Jakarta (14/1/2025), jalurseleberiti.com - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hingga saat ini, MK telah menerima lebih dari 300 permohonan sengketa terkait Pilkada 2024, mencerminkan tingginya dinamika dan tantangan dalam proses demokrasi Indonesia. Keputusan MK diharapkan dapat menghadirkan keadilan substantif, melebihi batasan prosedural yang selama ini menjadi momok bagi pemohon.

Keputusan MK dan Dinamika Sengketa Pilkada

Dalam Pilkada 2020, sekitar 17 kasus atau 53,9% dari gugatan yang diajukan berhasil dikabulkan oleh MK. Namun, tidak semua keputusan tersebut mengubah hasil akhir Pilkada. Contohnya, di Nabire, Papua, MK memutuskan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh TPS, tetapi hasil akhirnya tetap tidak mengubah pemenang sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan MK tidak hanya berfokus pada prosedur formal, melainkan juga pada keadilan substantif berdasarkan bukti pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Dalam konteks Pilkada 2024, peta politik nasional, yang sebagian besar masih mencerminkan hasil koalisi Pemilu Presiden, turut memengaruhi dinamika gugatan di MK. Namun, koalisi partai pada level nasional tidak selalu sejalan dengan koalisi di daerah, menciptakan variasi dalam sengketa yang diajukan.

Peran Bawaslu dalam Sengketa Pilkada

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memegang peran krusial dalam memberikan keterangan objektif kepada MK. Dalam sengketa Pilkada, Bawaslu wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan di setiap tahapan, mulai dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga proses penghitungan suara. Kejujuran dan transparansi Bawaslu dalam memberikan keterangan tertulis menjadi kunci untuk membantu MK menghadirkan keadilan substantif.

Namun, tantangan tidak sedikit. Contohnya, dalam sengketa Pilgub Sulawesi Selatan, pemohon menyebut ada 1,2 juta data pemilih yang diduga disalahgunakan oleh petugas KPPS. Dalam kasus seperti ini, Bawaslu harus mampu menyediakan data pembanding yang valid untuk mendukung proses pengambilan keputusan MK. Kendala seperti sulitnya akses terhadap data pemilih atau keterbatasan koordinasi dengan KPU di tingkat daerah menjadi tantangan yang harus diatasi.

Akselerasi Program Paska Pilkada 

Persoalan pelantikan Kepala Daerah terpilih juga menjadi perhatian Pemerintah Pusat, dengan mempertimbangkan akselerasi program nasional, cenderung mendorong pelantikan secepat mungkin, sesuai jadwal, yakni gubernur pada 7 Februari dan bupati/walikota pada 10 Februari. Namun, jika sengketa Pilkada belum selesai, pelantikan berpotensi tertunda, yang dapat mengganggu konsolidasi birokrasi dan pelayanan publik.

Rekomendasi dan Refleksi

Meski sistem Pemilu Indonesia terus berkembang, perbaikan masih diperlukan, terutama terkait keadilan substantif dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Usulan pembentukan badan peradilan khusus Pemilu menjadi diskusi penting ke depan. Namun, selama belum terbentuk, MK tetap menjadi lembaga yang efektif dalam menyelesaikan sengketa Pilkada.

Langkah selanjutnya adalah memastikan seluruh lembaga, termasuk Bawaslu dan KPU, bekerja maksimal dalam menjaga integritas data dan proses Pemilu. Transparansi dan objektivitas menjadi kunci menghadirkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Dengan demikian, Pilkada tidak hanya menjadi arena kompetisi politik, tetapi juga refleksi dari demokrasi yang matang dan bermartabat. (Pemred: Zaenal Langgar)
Lebih baru Lebih lama